BULUKUMBA, SUARASELATAN – Dalam mengatasi polemik perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT. London Sumatera (PT. Lonsum) yang terkait dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 tentang tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammota Kajang (Perda MHA Ammatoa Kajang), Armansyah Dore, anggota tim pengawal Ranperda, angkat bicara.
Menurut Dore, Perda MHA Ammatoa Kajang, yang merupakan peraturan tentang masyarakat adat, melibatkan proses pembentukan selama lebih dari tiga tahun. Keterlibatan anggota tim dengan latar belakang yang beragam dan kehati-hatian terkait wilayah adat menjadi faktor penentu dalam proses ini.
“Perda Kajang itu lama pembahasannya dulu lebih tiga tahun. Selain karena anggota tim perumus dan pengawalannya sangat beragam latar belakangnya, juga karena prinsip kehati-hatian tim terkait dengan wilayah adat yang akan diatur dalam Perda,” ungkapnya kepada awak media, Selasa (16/01/24).
Dore menjelaskan bahwa Perda MHA Ammatoa Kajang mencakup wilayah adat Ilalang Embayya dan Ipantarang Embayya, yang dikenal sebagai Kajang Dalam dan Kajang Luar. Peraturan tersebut juga menegaskan keberadaan hutan adat di kedua wilayah tersebut.
“Kita mesti membedah wilayah adat dan hutan adat, juga membedah hutan adat yang ada di Ilalang Embayya yang sudah mendapatkan SK Penetapan dari Menteri LHK dengan hutan adat yang ada di Ipantarang Embayya yang dikenal dengan istilah Paleko’na Boronga. Semua hal tersebut ada dalam Perda,” tambah Dore.
Terkait polemik perpanjangan izin HGU PT. Lonsum, Dore menjelaskan bahwa potensi konflik tersebut telah dibahas pada proses perumusan Perda MHA Ammatoa Kajang pada tahun 2013. Bagian-bagian yang mencakup hak atas pembangunan bagi masyarakat adat, pembentukan tim penanganan sengketa, dan ketentuan peralihan.
“Polemik yang ada hari ini, pada dasarnya kita diskusikan juga 10 tahun lalu saat perda ini dirumuskan, termasuk bagaimana dengan hak pihak ketiga yang berada dalam wilayah adat?. Kita siapkan jalan keluarnya, bisa dicek pada Pasal 17, Pasal 25 dan Pasal 27,” terangnya.
Dore menegaskan bahwa izin pihak ketiga di atas wilayah adat tetap berlaku hingga masa berlakunya berakhir. Namun, saat hendak diperpanjang, persetujuan dari masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adat yang telah ditetapkan melalui Perda menjadi krusial. Pembentukan tim penanganan sengketa dianggap sebagai salah satu opsi untuk menyelesaikan polemik ini.
Dalam penyampaiannya, Dore berharap agar Perda MHA Ammatoa Kajang menjadi panduan yang baik dalam menyelesaikan polemik ini. Ia menekankan bahwa peraturan ini telah menjadi referensi penting dalam pembentukan kebijakan serupa di Indonesia. Mengabaikan Perda tersebut dapat menimbulkan preseden buruk dan menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
“Masyarakat Adat Kajang inikan kuat secara de facto dan de jure, kalau dua hal tersebut diabaikan dalam proses penyelesaian polemik hari ini, kita bisa bayangkan bagaimana nasib komuitas adat yang lainnya ketika berhadapan dengan pihak luar meskipun sudah ada pengakuan hukum,” ucapnya.
Dore berharap agar proses penyelesaian polemik ini dapat dilakukan secara dialogis dan terbuka, menghindari terulangnya sejarah kelam konflik masa lalu.(*)