SUARASELATAN.com, Takalar – Ada satu amanah yang diwariskan bumi kepada manusia sejak pertama hutan tumbuh dan air mengalir di muka tanah: amanah untuk menjaga keseimbangan hidup. Ia bukan sekadar pesan moral, bukan pula jargon pembangunan berkelanjutan. Amanah ekologis adalah perintah alam yang tak dapat dinegosiasikan. Ia hadir dalam desir angin di pucuk pohon, dalam aliran sungai yang tenang, dalam jejak satwa yang melintas di malam hening. Tapi, dalam beberapa dekade terakhir, amanah itu justru dikhianati di hadapan kita sendiri.
Pengkhianatan ini bukan terjadi tiba-tiba. Ia tumbuh, perlahan, persis seperti akar semak yang merambat di sela-sela pohon yang melemah. Dimulai dari izin yang dikeluarkan tanpa teliti, pengawasan yang dipreteli, hingga hukum yang dibuat lemah oleh kompromi kepentingan. Ketika hutan dijadikan angka, bukan ekosistem; ketika sungai dipandang sebagai saluran, bukan sebagai nadi kehidupan; ketika pesisir dijadikan objek, bukan pelindung maka saat itulah manusia mulai memunggungi amanah ekologisnya.
Di berbagai kawasan hutan negara, kita menyaksikan realitas pahit itu. Pohon-pohon besar tumbang bukan karena angin atau usia, tetapi karena keserakahan yang disusun rapi. Jalur tikus pembalakan ilegal dibiarkan hidup subur. Perambahan tumbuh seperti lingkar api, menggerogoti batas kawasan yang sudah ditetapkan dengan susah payah. Bahkan kawasan konservasi yang seharusnya menjadi benteng terakhir tak luput dari tekanan. Di banyak tempat, suara burung mulai jarang terdengar bukan karena musim berubah, tetapi karena ruang hidup mereka hilang.
Sementara itu, aparat dan kebijakan yang seharusnya menjaga hutan sering kali terjebak dalam dilema: antara tugas mulia dan tekanan sosial-ekonomi yang menggerus idealisme. Ada petugas lapangan yang bekerja dengan sepatu lusuh dan tenaga yang nyaris habis, namun menghadapi pelaku yang dibekingi oleh jaringan kepentingan yang jauh lebih kuat. Ada pula masyarakat yang ditarik ke jurang kemiskinan, lalu didorong mengambil pilihan yang merusak hutan karena tak melihat ada jalan lain. Dalam semua lapisan itu, pengkhianatan terhadap amanah ekologis tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi oleh sistem.
Di hilir, sungai-sungai yang semestinya jernih berubah menjadi penampung limbah. Pesisir yang dulu menenangkan kini rapuh dihantam abrasi karena mangrove ditebang tanpa rasa bersalah. Laut kehilangan kejernihan dan warnanya, diganti lumpur dan sampah. Gunung-gunung kehilangan kekokohan karena tambang menggerogoti perutnya tanpa perhitungan risiko jangka panjang. Semua ini bukan fenomena alam, tetapi jejak tangan manusia yang lupa bahwa ia bukan penguasa bumi melainkan bagian dari ekosistemnya.
Krisis iklim global memperparah semuanya. Hujan ekstrem, kekeringan, banjir bandang, kebakaran hebat semua adalah alarm yang semakin keras. Namun, anehnya, sebagian kita masih bergerak seolah-olah bumi punya cadangan kesabaran yang tak terbatas. Padahal setiap hektare hutan yang hilang adalah detik yang terebut dari masa depan. Setiap satwa yang punah adalah lembar pengetahuan alam yang hilang selamanya.
Amanah ekologis yang dikhianati ini seharusnya memanggil kesadaran baru. Kita tidak membutuhkan slogan lagi; yang kita perlukan adalah keberanian keberanian untuk menjaga hutan dari tekanan kepentingan, keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan keberanian mengakui kesalahan lalu memperbaikinya. Negara harus hadir sebagai garda yang jujur, bukan sekadar regulator. Masyarakat harus diberdayakan agar tidak menjadi korban dari lingkaran ketidakadilan ekologis. Dan para penjaga hutan mereka yang berdiri di baris terdepan harus diberikan kekuatan, perlindungan, dan penghormatan yang layak.
Pada akhirnya, amanah ekologis adalah janji yang harus ditebus dengan tindakan, bukan kata-kata. Ketika alam memberi ruang hidup, manusia wajib menjaga keseimbangannya. Bila amanah itu terus dikhianati, maka bukan hanya hutan yang akan hilang melainkan masa depan kita sendiri. (Arfiudin S. Hut)
